Tuesday 4 February 2014

Biografi Imam Mawardi



Biografi Al-Mawardi
Nama lengkap Al- Mawardi adalah Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Habib Al- Bashri al-Mawardi. Beliau lahir di Basrah, Irak pada tahun 364 H/975 M. Beliau seorang faqih dan hafidz, dan seorang ulama fikir terbesar mazhab Syafi’i yang telah mengarang ensiklopedia fiqih mazhab Syafi’i yang jumlahnya lebih dari dua puluh jilid. Al- Mawardi pernah memangku jabatan hakim (qadhi) di berbagai kota. Di zamannya, beliau menjadi pemimpin para hakim (Aqdha Qudhat) pada pemerintahan Al-Qaim bin Amrillah Al-‘Abbasi. Beliau belajar hadits di Basrah pada beberapa ulama besar hadits, diantaranya:
1.      Al-Hasan bin ‘Ali bin Muhammad al-Jaballi
2.      Muhammad bin ‘Adi bin Zuhar al-Muqri
3.      Muhammad bin al-Ma’li al- Azdi
4.      Ja’far bin Muhammad bin al-Fadhal al- Baghdadi.
Sedangkan dalam ilmu fiqih beliau belajar kepada Abul Qasim ‘Abdul Wahid bin Muhammad ash-Shabmari, seorang hakim di Bashrah, dan kepada Abu Hamid Ahmad bin Abi Thahir al-Isfiraini di Baghdad.
            Al-Mawardi telah banyak menulis kitab yang sangat bermanfaat, diantara kitab-kitabnya yang sampai pada kita hingga kini adalah:
  1. Kitab al-Hawi al-Kabir, kitab fiqih mazhab Syafi’i yang berjumlah lebih dari dua puluh jilid.
  2. Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyah, kitab ini membahas tentang hukum ketatanegaraan.
  3. Kitab Nashihat al-Muluk.
  4. Kitab Qawanin al-Wizarah wa Siyasat al-Mulk.
  5. Kitab at-Tafsir.
  6. Kitab al-Iqna, sebagai ringkasan kitab al-Hawi.
  7. Kitab Adab al-Qadhi.
  8. Kitab A’lam an-Nubuwwah
  9. Kitab al-Amtsal wa al-Hukm
  10. Kitab al-Bughyah al-‘Ulya fi Adabi ad-Dunya wa ad-Din. Kitab ini lebih dikenal dengan nama Adabu Dunya wa Din.
Al-Mawardi wafat pada hari selasa di penghujung Rabi’ul awwal tahun 450 H dalam usia 86 tahun. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman Bab Harb dan dishalati oleh muridnya, al-Imam al_Khatib al-Baghdadi.

Friday 29 November 2013



MENYEMAI BIBIT KEJUJURAN SEJAK DINI MENGIKIS DEKADENSI MORAL BANGSA
Oleh Aco Wahab, S.Si
Tentu masih segar dalam ingatan kita tentang seorang ibu yang mengungkap ketidakjujuran dalam kasus nyontek massal dalam ujian nasional SD di sekolah tempat anaknya belajar tahun 2011 silam, walaupun pada akhirnya sang ibu harus mendapatkan konsekuensi  intimidasi dan pengusiran dari kampungnya sendiri. Melihat hal ini tampaknya kejujuran di Indonesia menjadi barang yang mahal lagi langka, atau bahkan sudah menjadi budaya bangsa ini. Walaupun begitu masih ada satu dua orang yang senantiasa memperjuangkan kejujuran ditengah badai kedustaan.
Jujur, satu kata yang mudah diucapkan namun sukar di implementasikan. Terkadang untuk menjadi orang yang jujur harus mengalami benturan-benturan baik itu kebencian, tanggapan sinis, ataupun predikat orang aneh. Aneh memang, secara teoritis kita menganggap bahwa kejujuran itu adalah hal yang terpuji, harus dijunjung tinggi, berapa banyak slogan-slogan baik di instansi pemerintah ataupun swasta, partai politik ataupun non politik, kota-kota besar sampai perkampungan menjadikan jujur suatu hal yang harus dilaksanakan, tapi pada kenyataannya jujur hanya sekedar kata yang digunakan untuk membungkus kebohongan, kedustaan, kecurangan, kelicikan yang tertata dengan rapi. Orang yang ingin dan sedang memperjuangkan kejujuran dibenci, dicerca, mereka mengatakan “zaman sekarang susah untuk jujur”, “ini bukan zamannya lagi”, “kita ikut arus saja”. Bukannya susah, hanya kita yang tidak mau. Bisa jadi karena dibelakang ketidakjujuran, dibelakang kedustaan ada hal-hal yang menggiurkan, ada hal-hal yang menyenangkan sehingga keimanan, prinsip, ideologi, dan moral yang tertanam dikecualikan, dihapuskan, dikompromikan dan ditaruh disuatu tempat kemudian dipakai kembali ketika urusan telah usai.
Menyikapi hal ini menyemai bibit kejujuran sejak dini adalah sebuah solusi. Tidak hanya disemai saja, ditumbuh kembangkan, dipelihara agar nantinya menjadi bunga yang indah, menjadi buah yang lezat. Peran orang tua, peran para pendidik, peran pemimpin dalam menjadikan kejujuran sebagai karakter bangsa sangat besar. Orang tua mendidik anaknya untuk berlaku jujur baik secara perkataan maupun perbuatan, pendidik mengajarkan anak didiknya akan pentingnya sebuah kejujuran, dan para pemimpin mengarahkan bahwahannya agar bekerja dalam kejujuran. Mulailah dari sekarang berbuat jujur, karena ketidakjujuran pokok masalah, akar masalah terjadinya dekadensi moral di Indonesia terutama parasit-parasit yang masih hinggap ditubuh Negara Indonesia ini mereka adalah korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Pernah diterbitkan oleh tribun kaltim, rubrik tribunners, hal 7

Tuesday 26 November 2013

Wanita haid menghadiri shalat dua Hari Raya



BAB : Wanita haid menghadiri shalat dua Hari Raya dan mendengarkan khutbah dan do'a bagi Kaum Muslimin namun mereka dijauhkan dari tempat shalat

No. Hadist: 313 (Shahih Bukhari)
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ هُوَ ابْنُ سَلَامٍ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ كُنَّا نَمْنَعُ عَوَاتِقَنَا أَنْ يَخْرُجْنَ فِي الْعِيدَيْنِ فَقَدِمَتْ امْرَأَةٌ فَنَزَلَتْ قَصْرَ بَنِي خَلَفٍ فَحَدَّثَتْ عَنْ أُخْتِهَا وَكَانَ زَوْجُ أُخْتِهَا غَزَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثِنْتَيْ عَشَرَةَ غَزْوَةً وَكَانَتْ أُخْتِي مَعَهُ فِي سِتٍّ قَالَتْ كُنَّا نُدَاوِي الْكَلْمَى وَنَقُومُ عَلَى الْمَرْضَى فَسَأَلَتْ أُخْتِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعَلَى إِحْدَانَا بَأْسٌ إِذَا لَمْ يَكُنْ لَهَا جِلْبَابٌ أَنْ لَا تَخْرُجَ قَالَ لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا وَلْتَشْهَد الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ فَلَمَّا قَدِمَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ سَأَلْتُهَا أَسَمِعْتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ بِأَبِي نَعَمْ وَكَانَتْ لَا تَذْكُرُهُ إِلَّا قَالَتْ بِأَبِي سَمِعْتُهُ يَقُولُ يَخْرُجُ الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُورِ أَوْ الْعَوَاتِقُ ذَوَاتُ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضُ وَلْيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُؤْمِنِينَ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى قَالَتْ حَفْصَةُ فَقُلْتُ الْحُيَّضُ فَقَالَتْ أَلَيْسَ تَشْهَدُ عَرَفَةَ وَكَذَا وَكَذَا
Telah menceritakan kepada kami Muhammad -yaitu Ibnu Salam- berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdul Wahhab dari Ayyub dari Hafshah berkata, "Dahulu kami melarang anak-anak gadis remaja kami ikut keluar untuk shalat pada dua hari raya. Hingga suatu hari ada seorang wanita mendatangi desa Qashra Banu Khalaf, wanita itu menceritakan bahwa suami dari saudara perempuannya pernah ikut berperang bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebanyak dua belas peperangan, ia katakan, 'Saudaraku itu hidup bersama suaminya selama enam tahun.' Ia menceritakan, "Dulu kami sering mengobati orang-orang yang terluka dan mengurus orang yang sakit.' Saudara perempuanku bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Apakah berdosa bila seorang dari kami tidak keluar (mengikuti shalat 'Ied) karena tidak memiliki jilbab?" Beliau menjawab: "Hendaklah kawannya memakaikan jilbab miliknya untuknya (meminjamkan) agar mereka dapat menyaksikan kebaikan dan mendo'akan Kaum Muslimin." Ketika Ummu 'Athiyah tiba aku bertanya kepadanya, "Apakah kamu mendengar langsung dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam?" Ummu 'Athiyah menjawab, "Ya. Demi bapakku!" Ummu 'Athiyah tidak mengatakan tentang Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kecuali hanya mengatakan 'Demi bapakku, aku mendengar beliau bersabda: "Hendaklah para gadis remaja dan wanita-wanita yang dipingit di rumah, dan wanita yang sedang haid ikut menyaksikan kebaikan dan mendo'akan Kaum Muslimin, dan wanita-wanita haid menjauh dari tempat shalat." Hafshah, "Aku katakan, "Wanita haid?" Wanita itu menjawab, "Bukankah mereka juga hadir di 'Arafah, begini dan begini?"

BAB : Keluarnya Kaum Wanita untuk Shalat Dua Hari Raya
Hadits No. 434 (Shahih Muslim)
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
434. Dari Ummu Athiyyah RA, dia berkata, "Rasulullah SAW memerintahkan kami agar mengajak kaum wanita keluar melakukan shalat Idul Fitri dan Idul Adha. Para wanita muda, para wanita yang haid dan para gadis. Adapun mereka yang haid tidak ikut shalat, namun turut menyaksikan kebaikan dan perayaan kaum muslimin. Aku bertanya kepada Rasulullah, 'Ya Rasulullah, di antara kami ada yang tidak memiliki baju.' Beliau menjawab, 'Hendaklah saudaranya meminjamkan bajunya kepadanya.!"' {Muslim 3/20 - 21}

BAB: Wanita Ikut Serta Merayakan Hari Raya
Hadits 1136 dan 1138 (Shahih Sunan Abu Daud)
أَنَّ أُمَّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَ ذَوَاتِ الْخُدُورِ يَوْمَ الْعِيدِ قِيلَ فَالْحُيَّضُ قَالَ لِيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قَالَ فَقَالَتْ امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لِإِحْدَاهُنَّ ثَوْبٌ كَيْفَ تَصْنَعُ قَالَ تُلْبِسُهَا صَاحِبَتُهَا طَائِفَةً مِنْ ثَوْبِهَا
1136. Dari Ummu Athiyyah, dia berkata, "Rasulullah SAW pernah memerintahkan kami supaya menyuruh keluar wanita-wanita muda dan para gadis pada hari raya. " Lalu ditanyakan, "Bagaimana dengan wanita-wanita yang haid? " Beliau bersabda, "Hendaklah mereka itu menyaksikan kebaikan hari itu dan juga doa dari kaum muslimin." Katanya, "Lalu ada seorang wanita bertanya, 'Wahai Rasulullah! Kalau di antara wanita ada yang tidak punya sehelai pakaian pun, bagaimana dia harus berbuat?' Beliau menjawab, "Hendaknya oleh temannya meminjami sebagian pakaiannya. "{Shahih: Muttafaq Alaih)
قَالَ وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ
Dalam suatu riwayat beliau bersabda, "... hendaklah wanita-wanita haidh menjauhi tempat shalat kaum muslimin. "
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ كُنَّا نُؤْمَرُ بِهَذَا الْخَبَرِ قَالَتْ وَالْحُيَّضُ يَكُنَّ خَلْفَ النَّاسِ فَيُكَبِّرْنَ مَعَ النَّاسِ
1138. Dari Ummu Athiyah dia berkata, "...kamipernah diperintahkan ..." seperti Hadits ini. Katanya, "Wanita-wanita haidh hendaknya berada di belakang orang banyak, lalu bertakbir bersama mereka. "{Shahih: Muttafaq Alaih)
36.  Keluarnya Wanita Pada (shalat) Dua Hari Raya
Hadits 539 (Sunan Tirmidzi)
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ أَخْبَرَنَا مَنْصُورٌ وَهُوَ ابْنُ زَاذَانَ عَنْ ابْنِ سِيرِينَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُخْرِجُ الْأَبْكَارَ وَالْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الْمُصَلَّى وَيَشْهَدْنَ دَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قَالَتْ إِحْدَاهُنَّ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ فَلْتُعِرْهَا أُخْتُهَا مِنْ جَلَابِيبِهَا
539. Ahmad bin Mani menceritakan kepada kami, Husyaim memberitahukan kepada kami, Manshur -yakni Ibnu Zadzan- memberitahukan kepada kami dari Ibnu Sirin, dari Ummi Athiyyah: Rasulullah SAW menyuruh keluar perawan-perawan, wanita-wanita merdeka, wanita-wanita yang mengurung diri, dan wanita-wanita yang sedang haid, tetapi wanita-wanita yang haid hendaknya memisahkan diri dari tempat shalat dan menyaksikan dakwah kaum muslimin. Salah seorang di antara mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana seandainya dia tidak mempunyai jilbab?" Beliau menjawab, "Maka hendaknya saudaranya mau meminjamkan jilbabnya untuknya. " Shahih: IbnuMajah (1307 dan 1308) dan Muttafaq 'alaih
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ عَنْ حَفْصَةَ بِنْتِ سِيرِينَ عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ بِنَحْوِهِ
540. Ahmad bin Mani" menceritakan kepada kami, Husyaim memberitahukan kepada kami dari Hisyam bin Hasan, dari Hafshah binti Sirin, dari Ummi Athiyah dengan makna yang sama.
Ia berkata, "Pada bab ini ada hadits yang diriwayatkan pula dari Ibnu Abbas dan Jabir." Abu Isa berkata, "Hadits Ummi Athiyah ini adalah hadits hasan shahih." Sebagian ulama sependapat dengan isi hadits ini. Ada yang memberi keringanan kepada wanita untuk keluar pada dua hari raya, dan ada juga yang tidak menyukainya. Diriwayatkan dari Ibnu Al Mubarak, ia berkata, "Pada hari ini aku tidak menyukai orang-orang perempuan yang keluar pada dua hari raya. Apabila seorang perempuan memaksa untuk pergi, maka hendaknya suaminya mengizinkannya untuk keluar dengan pakaian jeleknya dan tidak berhias. Apabila ia enggan untuk keluar dengan pakaian jelek, maka suaminya boleh mencegahnya." Diriwayatkan dari Aisyah, dia berkata, "Seandainya Rasuiullah SAW mengetahui apa yang dilakukan oleh para wanita, maka beliau melarang mereka untuk pergi ke masjid sebagaimana wanita Bani Israil dilarang untuk ke masjid." Diriwayatkan dari Sufyan Ats-Tsauri, bahwa kini ia tidak menyukai orang-orang perempuan yang pergi ke masjid untuk menunaikan shalat Ied.

No. Hadist: 387 (Sunan An-Nasa’i)
Bab: Wanita haidh turut menghadiri idul adha-fitri dan dakwah muslimin
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ قَالَ أَنْبَأَنَا إِسْمَعِيلُ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ حَفْصَةَ قَالَتْ كَانَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ لَا تَذْكُرُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا قَالَتْ بِأَبَا فَقُلْتُ أَسَمِعْتِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ كَذَا وَكَذَا قَالَتْ نَعَمْ بِأَبَا قَالَ لِتَخْرُجْ الْعَوَاتِقُ وَذَوَاتُ الْخُدُورِ وَالْحُيَّضُ فَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ وَتَعْتَزِلْ الْحُيَّضُ الْمُصَلَّى
Telah mengabarkan kepada kami Amr bin Zurarah dia berkata; telah memberitakan kepada kami Ismail dari Ayub dari Hafshah dia berkata; " Ummu Athiyyah berkata kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, 'Ayahku menjadi jaminanku'. Aku berkata, 'Apakah kamu mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda begini dan begitu? ' Ia menjawab, 'Ya, ayahku menjadi jaminanku. Beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Hendaklah para budak dan gadis-gadis pingitan, serta perempuan-perempuan yang sedang haidl keluar untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin. Perempuan-perempuan yang sedang haidl hendaknya menjauh dari tempat shalat."
165. Keluarnya Para Wanita pada Dua Hari Raya
Hadits 1087-1323(Sunan Ibnu Majah)
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي يَوْمِ الْفِطْرِ وَالنَّحْرِ قَالَ قَالَتْ أُمُّ عَطِيَّةَ فَقُلْنَا أَرَأَيْتَ إِحْدَاهُنَّ لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ فَلْتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
1087-1323. Dari Ummu 'Athiyah, ia berkata, "Rasulullah SAW memerintahkan kami untuk mengeluarkan para wanita pada hari raya fitri dan kurban." Perawi berkata, "Ummu 'Athiyah berkata, 'Kemudian kami bertanya, 'Apa pendapat engkau wahai Rasulullah apabila salah satu mereka tidak memiliki jilbab?." Beliau menjawab, "Hendaknya saudara perempuanya memberikan dari jilbabnya." Shahih, Shahih Abu Daud (1041, 1043). Muttafaq alaih
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْرِجُوا الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ لِيَشْهَدْنَ الْعِيدَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ وَلْيَجْتَنِبَنَّ الْحُيَّضُ مُصَلَّى النَّاسِ
1088-1324. Dari Ummu Athiyah, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, 'Keluarkanlah gadis-gadis yang menjelang baligh dan wanita-wanita yang dipingit, untuk menghadiri hari raya dan dakwah hakim muslim, dan hendaknya para wanita yang sedang haid menjauh dari tempat shalat orang-orang'." Shahih, Shahih Abu Daud. Ash-Shahihah (2407). Bukhari


Hafsah [binti sirin, 2/9] berkata , “kami semua melarang gadis-gadis kami untuk keluar pada kedua hari raya (Idul fitri dan Idul Adha). Datanglah seorang perempuan lalu singgah di gedung keluarga Khalaf, [lalu aku dating kepadanya], kemudian ia bercerita tentang saudara perempuannya dan suami dari saudara perempuannya  telah mengikuti peperangan bersama-sama dengan Nabi Muhammad saw. Sebanyak dua belas kali. Perempuan tersebut selanjutnya mengatakan, ‘saudara perempuanku itu pernah mengikuti suaminya (dalam peperangan) sebanyak enam  kali. Ia mengatakan, ‘ kami mengobati yang terluka, mengurus yang sakit.’ Saudara perempuanku bertanya kepada Nabi Muhammad aZsaw. ‘apakah tidak apa-apa bagi salah seorang di antara kami untuk tinggal dirumah kalau dia tidak mempunyai jilbab?’ beliau menjawab, ‘ hendaknya sahabatnya mengenakan salah satu jilbabnya kepadanya dan hendaknya dia berpartisipasi didalam perbuatan-perbuatan baik dan dalam pertemuan-pertemuan keagamaan kaum muslimin. ‘ pada waktu Ummu Athiyyah datang, aku datang kepadanya lalu aku bertanya kepadanya,’apakah anda pernah mendengar Nabi Muhammad saw. Mengenai masalah ini (yakni bolehnya kaum wanita keluar untuk menghadiri kebaikan yang diadakan oleh kaum muslimin)?’ Ummu Athiyyah berkata, ‘ya semoga Ayahku berkorban untuknya (Nabi Muhammad saw.)- Ummu Athiyyah tidak menyebutkan sesuatu melainkan hanya berkata, ‘semoga ayahku berkorban untuknya’- aku pernah mendengar Nabi Muhammad saw. Bersabda, ‘[hendaklah] wanita-wanita merdeka (anak-anak gadis) dan wanita-wanita pingitan atau anak-anak gadis pingitan [Abu Ayyub ragu-ragu] dan wanita-wanita haid keluar  [pada hari raya] untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah orang-orang mukmin, dan orang yang haid supaya mengucilkan diri dari mushalla.’ [ seorang perempuan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kalau seorang dari kami tidak mempunyai jilbab?’ beliau menjawab, ‘Hendaklah sahabatnya berpartisipasi dengan menggunakan jilbabnya kepadanya.’ 1/93].’” Hafshah berkata, “ aku bertanya bagaimana dengan wanita-wanita yang sedang haid?’ jawabnya, ‘bukankah wanita yang sedang haid juga hadir di arafah, [menghadiri] ini dan [menghadiri] ini?’” (dalam satu riwayat dari Hafsah, “kami diperintahkan untuk keluar pada hari raya, hingga kami suruh keluar juga anak-anak gadis dari pingitannya, hingga kami keluarkan wanita-wanita yang sedang haid, lalu mereka berada di belakang orang banyak, lantas bertakbir dengan takbir mereka dan berdoa sebagaimana mereka berdoa karena mengharapkan keberkahan dan kesucian hari itu.” 2/7)
Sayyid Sabiq mengatakan dalam Fiqhussunnah disyariatkan pada kedua hari raya itu keluarnya anak-anak serta kaum wanita, termasuk gadis atau janda, yang masih remaja atau yang sudah tua, bahkan juga wanita-wanita yang sedang haid[1], berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah:
َعَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: ( أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ اَلْعَوَاتِقَ, وَالْحُيَّضَ فِي الْعِيدَيْنِ; يَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَيَعْتَزِلُ اَلْحُيَّضُ اَلْمُصَلَّى )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Ummu Athiyyah Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami diperintahkan mengajak keluar gadis-gadis dan wanita-wanita haid pada kedua hari raya untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum muslimin, wanita-wanita yang haid itu terpisah dari tempat sholat[2]. (H.R Muttafaq Alaihi)
                                                                                
Biografi Singkat Hafsah binti Sirin
Beliau adalah saudara perempua Muhaammad bin Sirin, seorang tabi’in yang senantiasa beribadah dan sekaligus ahli dalam fikih. Hafsah hafal Alquran dengan sangat baik semenjak berusia 12 tahun. Bahkan Muhammad bin Sirin sendiri di saat merasa kesukaan dalam memahami sesuatu yang berhubungan dengan Alquran, memerintahkan kepada muridnya untuk pergi menghadap  Hafsah.
Ia berkata, “menghadaplah kalian semua kepada Hafsah, dan bertanyalah kepadanya tentang bagaimana cara ia memahami permasalahannya ini (permasalahan yang bersangkutan dengan Alquran). Sebab ia bagaikan orang yang telah meminum bahtera keilmuan yang ada dalam Alquran”.
Ibnu Hibban, Yahya bin Muayyan dan Ahmad bin Abdullah, menganggap Hafsah termasuk para perawi Hadits yang dapat dipercaya. Ia meninggal dunia di Madinah tahun 101 Hijrah dengan usia mendekati 70 tahun.

Kandungan Hadits

  1. Kalimat “kami diperintahkan.” Orang yang memberikan perintah di sini adalah Rasulullah SAW, dengan begitu hadits ini hadits marfu’
  2. Perintah wanita berpartipasi di dalam perbuatan-perbuatan yang baik dan dalam pertemuan-pertemuan keagamaan kaum muslimin.
  3. Perintah wanita-wanita merdeka (anak-anak gadis) dan wanita –wanita pingitan atau anak-anak gadis pingitan dan wanita-wanita haid keluar pada hari raya untuk menyaksikan kebaikan dan dakwah orang-orang mukmin.
  4. Wanita yang haid agar mengucilkan diri dari mushalla (tempat shalat)
  5. Perintah wanita muslimah meminjamkan jilbabnya kepada saudara atau sahabatnya agar dapat berpartisipasi dalam perbuatan-perbuatan baik.
  6. Bolehnya wanita haid hadir di Arafah.
  7. Bolehnya wanita haid bertakbir seperti takbir  orang yang menghadiri shalat id.
  8. Bolehnya wanita haid berdoa karena mengharapkan keberkahan dan kesucian hari raya id.
  9. Keutamaan Hari Id dan bahwa ia merupakan hari dimana doa dikabulkan
  10. Ibnu Al Mulaqqin dalam Asy-Syarh Al ‘Umdah mengatakan “berargumentasi dengan perintah mengeluarkan para wanita untuk mengikuti shalat Id dan keluar rumah sebagai suatu kewajiban bagi mereka adalah tidak sah, karena perintah tersebut diarahkan kepada orang yang tidak wajib shalat, seperti para wanita yang sedang haid. Maksud perintah  di sini hanya mendidik anak-anak/ remaja agar mau mengerjakan shalat, menghadiri doa, mengikutsertakan mereka serta memperlihatkan kesempurnaan agama Islam.
  11. Hadits ini menunjukkan bahwa menghadiri majlis-majlis dzikir dan kebaikan dianjurkan kepada setiap orang, termasuk wanita haid, orang junub dan sejenisnya kecuali di masjid.
Pendapat Imam Mazhab
Mengenai hadits ini syaikh ibnu Utsaimin rahimahullah dalam Majmu Al-Fatawa, 16/214 mengatakan “pendapat saya bahwa shalat id itu Fardu Ain. Tidak dibolehkan bagi laki-laki meninggalkannya, mereka harus hadir. Karena Nabi Shallallahu alaihi wa sallam memerintahkannya, bahkan beliau memerintahkan para wanita yang baru baliq dan para gadis untuk keluar shalat Id. Bahkan beliau memerintahkan wanita haid untuk keluar (ke tempat shalat Id) akan tetapi dipisahkan dari tempat shalat. Hal ini semakin menguatkan kewajibannya.


Para ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat dua hari raya menjadi tiga pendapat.
Pendapat pertama, bahwa ia sunnah  muakkad. Ini adalah pendapat madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah. Dasarnya adalah sabda Rasulullah SAW kepada badui arab yang bertanya tentang shalat wajib. Beliau SAW menjawab
“lima shalat yang telah diwajibkan oleh Allah SWT kepada para hambaNya”. Lekaki badui itu bertanya,”apakah ada yang wajib bagi saya selain lima itu?”  Beliau SAW menjawab, “tidak.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Adapun ke mu’akkadahannya di karenakan Rasulullah SAW selalu menjalankanya[3].
Pendapat kedua, fardu kifayah. Ini mazhab Imam Ahmad Rahimahullah. Jika sebagian orang telah melakukannya maka kefardhuannya gugur untuk yang lain[4].
Dalil kefardhuannya  adalah :
  1. Firman Allah SWT
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (Q.S Al Kautsar :2)
  1. Rasulullah SAW selalu mengerjakannya
  2. Shalat Id merupakan symbol nyata agama Islam[5]
Bahwa hukum shalat Id bukan Fardhu Ain karena hadits lelaki arab badui menafikkan kewajiban shalat selain lima waktu.
Pendapat ketiga, diwajibkan kepada seluruh orang Islam. Diwajibkan kepada seluruh laki-laki. Berdosa orang yang meninggalkannya tanpa ada uzur. Ini mazhab Imam Abu Hanifah Rahimahullah. Menurut madzhab Hanafiyah hukum melaksanakan shalat Id adalah wajib atas orang yang wajib melaksanakan shalat jumat. Hanya saja hukum khutbah shalat Id bagi mereka adalah sunnah.[6]
Riwayat lain dari Imam Ahmad mengatakan bahwa hukum melaksanakan shalat Id adalah fardhu ain berdasarkan ayat Al Kautsar ayat 2, perintah Nabi SAW untuk melaksanakannya termasuk oleh para wanita. Pendapat ini dipilih Syaikhul Islam.[7]
Pendapat ini adalah pendapat yang rajah. Dalil-dalil yang diajukan oleh mereka yang berpendapat fardhu kifayah merupakan dalil bagi mereka yang berpendapat fardhu ain. Dalil-dalil tersebut lebih menampakkan pilihan pendapat terakhir ini.[8]
Adapun hadits lelaki arab badui tidak ada petunjuk di dalamnya yang mengatakan bahwa shalat Id tidak wajib. Karena pertanyaannya kepada Nabi SAW dan jawaban beliau hanya berkaitan dengan shalat fardhu yang dilakukan terus menerus setiap hari. Untuk tidak menghalangi adanya kewajiban shalat baru  karena suatu sebab, seperti dua shalat Id yang merupakan bentuk syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmatnya yang tiada henti, khususnya puasa bulan Ramadhan, ibadah malamnya, berkurba hewan dan melaksanakan manasik haji.[9]










DAFTAR PUSTAKA

Al Bassam, Abdullah bin Abdurrahman. 2006. Syarah Bulughul Mahram Jilid 3. Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin.  2003. Ringkasan Shahih Bukhari. Jakarta: Gema Insani Press.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin.  2008. Shahih Sunan Abu Daud. Jakarta: kampungsunnah.org.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin.  2008. Shahih Sunan Ibnu Majah. Jakarta: kampungsunnah.org.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2009. Shahih Sunan Tirmidzi. Jakarta: kampungsunnah.org.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2009. Mukhtashar Shahih Muslim. Jakarta: kampungsunnah.org.
Al-Asqalany, Ibnu Hajar. 2008. Bulughul Mahram. Tasikmalaya: Pustaka Al-Hidayah
Sabiq, Sayyid. 2007. Fikih Sunnah. Bandung: PT Alma’arif


[1] Sayyid Sabiq,hal 348,
[2] Ibnu Hajar, Bulughul Mahram (Terj.)
[3] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Mahram (Terj)
[4] ibid
[5] ibid

[6] Abdullah bin Abdurrahman Al Bassam, Syarah Bulughul Mahram (Terj)
[7] Ibid
[8] Ibid
[9] Ibid